Peran Teknologi Informasi dalam Jaringan Rantai Pasok Global


Pada era globalisasi, terdapat pergeseran paradigma satu unit usaha. Sebelumnya satu unit usaha merupakan satu perusahaan yang berdiri sendiri, berubah menjadi suatu bentuk jaringan kemitraan yang melibatkan berbagai unit usaha, seperti pemasok, produsen, distributor, penyedia jasa logistik, retailer. Selanjutnya, suatu fasilitas diperlukan untuk menghubungkan unit-unit tersebut menjadi suatu kesatuan, sehingga aliran material, informasi dan finansial menjadi efektif dan efisien. Fasilitas yang diperlukan tersebut sudah dapat dicapai berkat kemajuan teknologi di bidang informasi dan komunikasi (Information and Communication Technology), misalnya internet, telepon satelit, transaksi elektronik, dan lain sebagainya. Selain itu, jaringan kemitraan dapat lebih mudah terjadi pada era globalisasi bisnis yang membuat sekat-sekat geopolitik dan budaya menjadi lebih terbuka dan mudah dipenetrasi. Pergeseran paradigma ini adalah dampak dari adanya globalisasi bisnis yang membuka sekat-sekat geografis dan budaya, serta perkembangan teknologi informasi.

Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam suatu jaringan kemitraan memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan perusahaan yang berdiri sendiri. Jaringan kemitraan yang memiliki kebijakan untuk bertukar informasi tentang persediaan barang, dapat menjalankan kegiatannya secara lebih efisien. Perusahaan yang bertindak sebagai pemasok dapat memproduksi bahan baku sesuai dengan kebutuhan perusahaan yang bertindak sebagai produsen, sehingga terhindar dari adanya overstock. Sebaliknya, perusahaan yang bertindak sebagai produsen mendapatkan kepastian mendapatkan bahan baku dari pemasok, sehingga produsen tersebut tidak mengalami stock out bahan baku. Pada prakteknya, kerjasama antar perusahaan memiliki bentuk yang sangat bervariasi, misalnya Continous Replenishment Program (CRP), Vendor Managed Inventory (VMI), namun bentuk-bentuk kerjasama tersebut memiliki satu persamaan, yaitu pertukaran informasi.

Apple ComputerFritz Companies, Amerika Serikat

Apple Computer  adalah salah satu produsen komputer yang memiliki pabrik di California dan Colorado, Amerika Serikat. Perusahaan tersebut memiliki masalah terkait dengan lead time yang lama dan tidak dapat diandalkan (unreliable). Masalah tersebut disebabkan karena sebagian besar pemasok berada di benua Asia. Pemasok sering mengalami kendala terutama pada transportasi dan bea cukai. Hubungan rantai pasok antara pemasok dengan Apple Computer melibatkan lima tahap, yaitu tahap persiapan pengangkutan dengan kapal laut, tahap bebas bea cukai, tahap pengangkutan barang dengan kapal laut, proses pergudangan, dan tahap pengangkutan barang dengan alat transportasi lokal. Pada tahun 1990, Apple Computer membuat sebuah jaringan rantai pasok untuk masing-masing pabrik dengan melibatkan perusahaan layanan logistik yang bernama Fritz Companies. Perusahaan logistik tersebut mendirikan gudang di dekat pabrik milik Apple Computer, serta bertanggung jawab untuk memastikan ketersediaan bahan baku. Selain itu, perusahaan outsource tersebut juga mendapatkan wewenang untuk melakukan konsolidasi dengan pemasok dari asia, koordinasi dengan pihak petugas bea cukai, serta mengatur penggunaan alat transportasi lokal. Jaringan rantai pasok ini (Apple Computer, Fritz Companies, Supplier) memiliki sistem informasi yang disebut dengan FLEX. Sistem informasi ini berisi tentang berbagai informasi penting yang dapat diakses oleh seluruh anggota jaringan, misalnya jumlah persediaan bahan baku di pabrik Apple Computer, bahan baku yang tertahan di petugas bea cukai, bahan baku yang berada di perjalanan, dan lain sebagainya. Dengan adanya sistem informasi FLEX, pihak Apple Computer dapat melacak informasi tentang jumlah, maupun posisi, bahan baku yang terdapat di jaringan rantai pasok, sehingga dapat menentukan kebijakan persediaan bahan baku secara lebih efektif dan efisien.

Hubungan tradisional antara produsen dan pemasok adalah hubungan pemesanan (orders). Masalah seringkali muncul, karena jumlah pemesanan yang dilakukan oleh produsen merupakan hasil peramalan atau taksiran. Hasil peramalan tersebut merupakan prediksi bisnis pada masa depan, yang belum tentu sesuai dengan kondisi pasar yang dinamis. Distorsi yang ditimbulkan adanya perbedaan antara peramalan dan kondisi pasar yang dinamis, sering disebut dengan bullwhip effect. Pemesanan produsen (orders) merupakan pertimbangan utama para pemasok dalam rangka merencanakan produksinya, sehingga pemasok juga mendapatkan dampak negatif dari adanya bullwhip effect, misalnya pemasok seringkali dituntut untuk merevisi rencana produksi di tengah-tengah proses produksi sedang berjalan.

Seven Eleven, Jepang

Seven Eleven adalah minimarket dengan jaringan yang terbesar di Jepang. Jaringan minimarket tersebut menjual makanan cepat saji yang paling laris di Jepang. Selain itu, minimarket tersebut merupakan penjual batterai nomor satu, dan penjual majalah nomor dua di Jepang. Jaringan minimarket tersebut memiliki inventory turns sebesar 55 per tahun, jauh diatas Wal-Mart dengan inventory turns 6,7 tiap tahun. Rahasia kesuksesan Seven Eleven adalah adanya sistem informasi yang memuat data Point of Sales (POS). Data tersebut sangat berguna bagi para analis yang bekerja pada kantor pusat, terutama untuk menganalisis tren penjualan produk berdasarkan jenis kelamin, perkiraan usia konsumen, dan pertimbangan lain. Analisis tren tersebut dapat dilakukan secara real time. Hasil analisis ini dipergunakan untuk mengatur persediaan produk, mengatur tata letak rak-rak di dalam minimarket, maupun pengembangan produk baru. Selain untuk keperluan internal, hasil analisis tersebut juga disampaikan kepada wholesalers dan produsen produk, sehingga dapat dipakai sebagai data untuk memprediksi demand untuk perencanaan produksi atau pengembangan produk baru.

Lee, H.L, dan Whang, S. (2000): Information sharing in suppy chain. International Journal of Manufacturing and Management, 1, 1, 79-93


Leave a Reply